SUGGESTOPEDIA
Sesuai dengan kebijakan pendidikan di Indonesia,
bahasa Inggris adalah bahasa kedua (L2) atau bahasa asing pertama yang
diajarkan di sekolah-sekolah formal, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Pelajaran bahasa Inggris tersebut secara jelas tercantum di
dalam kurikulum dan mendapatkan jam atau porsi yang cukup besar. Hal ini
menandakan bahwa pelajaran bahasa Inggris dianggap sebagai pelajaran yang
penting.
Banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai
kondisi pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di sekolah. Pada umumnya
mereka sepakat bahwa pengajaran bahasa Inggris di sekolah belum bisa dikatakan
berhasil sebagaimana mestinya. Hal ini salah satunya terbukti secara nyata dari
penguasaan bahasa Inggris para siswa yang masih sangat rendah.
Menurut M.F.
Bharadja (1990:61-62), kekurangberhasilan pengajaran bahasa Inggris di
Indonesia sebagian besar disebabkan oleh adanya pertentangan antara hakikat
belajar bahasa asing (HBA) yang “tidak kenal kompromi” dengan kebijakan yang
menentukan pelaksanaan (KMP) proses belajar mengajar.
HBA dianggap tidak kenal kompromi karena untuk
melakukan pengajaran bahasa asing harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar yang tidak bisa ditawar-tawar, misalnya jumlah siswa dalam satu kelas
tidak boleh terlalu besar, guru harus
seorang profesional, frekuensi pertemuan harus tinggi, harus menggunakan metode
atau pendekatan pengajaran bahasa yang sesuai, dan sebagainya. Sementara
keadaan di lapangan menunjukkan bahwa KMP tidak bisa memenuhi tuntutan HBA tersebut,
sehingga pengajaran bahasa Inggris di Indonesia cenderung berjalan keluar dari
prinsip dasar di atas.
Karena kondisi di Indonesia yang tidak mendukung
maka pengajaran bahasa Inggris terpaksa
dilaksanakan dalam kelas yang jumlah siswanya sangat banyak, kemampuan
guru-guru bahasa Inggris yang sangat memprihatinkan bahkan banyak guru bahasa
Inggris yang bukan berasal dari disiplin ilmu bahasa Inggris, dan penggunaan
metode atau pendekatan pengajaran bahasa yang sudah ketinggalan zaman.
Dewasa ini, pengajaran bahasa sebagai bahasa asing
mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat yang tradisi penelitiannya sudah mapan. Penelitian-penelitian
di bidang kebahasaan dan pengajaran bahasa di dua benua tersebut tidak jarang
telah melahirkan pemikiran-pemikiran yang besar di bidang linguistik dan
linguistik terapan (pengajaran bahasa). Kemajuan yang begitu pesat di bidang
komunikasi telah membawa pemikiran-pemikiran tersebut ke negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, sehingga tidaklah mengherankan apabila teori
pembelajaran bahasa yang diterapkan di Indonesia banyak mengadopsi
pemikiran-pemikiran dari negara Barat.
Salah satu pemikiran dari negara Barat yang banyak
mewarnai pengajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah semakin berkembangnya
penerapan metode atau pendekatan pengajaran bahasa modern/mutakhir. Menurut
Soenjono Dardjowijojo (1996:30), dewasa ini telah berkembang lima pendekatan
mutakhir dalam pengajaran bahasa, yaitu Community Language Learning, Total
Physical Response, The Natural Approach. The Silent Way, dan Suggestopedy.
Dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang telah
berkembang sebelumnya, seperti Metode
Gramatika-Terjemahan (Grammar-Translation Method) dan Metode Langsung (Direct
Method) yang memandang guru sebagai pemilik ilmu dan siswa hanya sebagai
objek, pendekatan-pendekatan yang baru
ini lebih mengutamakan peranan siswa dan
kebutuhan siswa. Meskipun pendekatan-pendekatan baru tersebut telah berkembang
selama 4 sampai 5 dasawarsa, kenyataannya banyak guru bahasa asing yang masih
enggan menerapkannya.
Hal ini
disebabkan antara lain, selain pemahaman para guru mengenai pendekatan tersebut
masih sangat minim juga disebabkan oleh terbatasnya kondisi yang dibutuhkan untuk menerapkan
pendekatan tersebut.
Menurut E. Sadtono (1996:71), berhasil tidaknya suatu
metode pengajaran bahasa kedua (bahasa asing) sangat tergantung pada banyak
faktor, apalagi jika diterapkan secara nasional, lebih-lebih lagi nasional
dalam arti Indonesia yang situasi kependidikannya sangat heterogen.
Faktor-faktor yang menyebabkan sukses tidaknya metode pengajaran bahasa asing
adalah faktor-faktor linguistik dan nonlinguistik. Bila penerapan metode itu
dilakukan secara nasional maka yang merepotkan adalah faktor-faktor
nonlinguistik.
Metode pengajaran yang berhasil diterapkan pada
kelompok-kelompok kecil dalam situasi dan kondisi tertentu belum tentu dapat
berhasil jika diterapkan pada kelompok-kelompok besar dalam situasi dan kondisi
yang berbeda.
Pada bagian lain E. Sadtono (1996: 81-82) menyatakan
bahwa berdasarkan penelitian Bartley, sikap siswa mungkin menjadi lebih buruk
terrhadap bahasa asing yang dipelajari setelah ia mempelajari bahasa tersebut
dengan metode tertentu tanpa hasil. Sebab itu, Bartley menganjurkan agar dicari
metode pengajaran bahasa yang dapat membuat siswa menjadi lebih positif dan
menaikkan motivasinya dengan harapan bahwa sikap dan motivasi yang positif akan
menaikkan prestasi belajarnya.
Hasil penelitian Bartley ini membuktikan bahwa
ketepatan pemilihan metode dalam pengajaran bahasa merupakan hal yang sangat
penting.
Berdasarkan paparan tersebut, pada makalah ini akan
dibahas salah satu pendekatan pengajaran bahasa yang dianggap mutakhir dan
dipandang mampu meotivasi pembelajar bahasa, yaitu pendekatan suggestopedia.
Pembahasan ini juga akan dilengkapi dengan pembahasan mengenai pemerolehan
bahasa kedua (bahasa asing) dan karakteristik suggestopedia sebagai pendekatan
yang bersifat humanistik (mengutamakan kebutuhan siswa).
II. PEMBAHASAN
A.
Belajar Bahasa
Kedua
Yang dimaksud dengan bahasa kedua adalah bahasa yang
tidak diperoleh seseorang secara wajar dari kecil (M.F. Baradja, 1990:21).
Pemerolehan bahasa kedua diartikan dengan mengajar dan belajar bahasa asing dan
atau bahasa kedua lainnya (Henry Guntur Tarigan, 1988:125). Seperti yang telah
dikemukakan di depan, bahasa kedua yang paling utama yang diajarkan di sekolah
di Indonesia adalah bahasa Inggris.
Belajar bahasa kedua (bahasa Inggris, bahasa Arab,
bahasa Jepang, bahasa Mandarin, dan sebagainya) pada umumnya dilakukan secara
formal, yaitu di kelas bersama seorang guru dengan menggunakan buku teks
tertentu. Menurut Henry Guntur Tarigan (1988: 125-126), terdapat tiga faktor
mendasar dalam proses belajar bahasa kedua, yaitu belajar bahasa adalah orang,
belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan belajar bahasa
adalah orang-orang dalam responsi.
Hakikat belajar bahasa kedua tidak sama dengan belajar
bahasa pertama. Belajar bahasa pertama berangkat dari “nol” (pembelajar belum
menguasai bahasa apa pun) dan perkembangan pemerolehan bahasa ini berjalan
seiring dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Proses belajar bahasa kedua,
si pembelajar sudah menguasai bahasa pertama dengan baik dan perkembangan
pemerolehan bahasa kedua tidak seiring dengan perkembangan fisik dan psikisnya.
Pemerolehan bahasa pertama dilakukan secara informal dengan motivasi yang
sangat tinggi karena pembelajar sangat memerlukan bahasa pertama ini untuk
berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, sedangkan pemerolehan
bahasa kedua dikerjakan secara formal dengan motivasi yang tidak terlalu
tinggi.
Dalam proses belajar bahasa kedua, terdapat satu teori
yang banyak dipakai sebagai acuan oleh para pengajar bahasa, yaitu teori
Bialystok. Menurut Bialystok, dalam belajar bahasa kedua terdapat tiga macam
ilmu pengetahuan (knowledge) yang bahu membahu dalam proses belajar
bahasa kedua, yaitu Input, Knowledge, dan Output. Pembelajar jika
ingin berhasil dalam belajar bahasa kedua harus memiliki pengalaman (language
exposure) dan ini disebut Input. Kemudian, segala macam informasi
dan pengalaman yang diperoleh si pembelajar harus disimpan di suatu tempat yang
disebut Knowledge. Dan akhirnya
sampailah pada Output, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengutarakan
isi hati (M.F. Baradja, 1990: 23-24; Bialystok, 1980: 46).
Pengalaman kebahasaan secara formal, misalnya belajar
bahasa Inggris di kelas, membaca buku teks bahasa Inggris, dan sebagainya, akan
memperkaya isi sel yang disebut Implicit Linguistic Knowledge. Pengalaman
kebahasaan yang bersifat informal seperti mendengarkan TV, membaca novel bahasa
Inggris, berkomunikasi dalam bahasa Inggris, akan memperkaya isi sel sel yang
disebut Explicit Linguistic Knowledge. Pengalaman dalam belajar ilmu
yang bermacam-macam (geografi, fisika, kedokteran, dan sebagainya) akan
memperkaya isi sel yang disebut Other Knowledge. Tiga macam sel ini akan
bahu membahu mempermudah pembelajar dalam belajar bahasa kedua.
B. Suggestopedia
1. Sejarah Perkembangan dan Prinsip-prinsip Dasarnya
Metode ini dirintis pada musim panas tahun 1975 di
Bulgaria ketika sekelompok peminat di Institut Penelitian Pedagogy di bawah
Georgi Lozanow melakukan penelitian mengenai pengajaran bahasa asing. Pada awal
perkembangannya, suggestopedia hanya dicoba di negara-negara Eropa Timur
seperti Uni Soviet, Jerman Timur, dan Hongaria (Soenjono Dardjowidjojo,
1996:62).
Sebagai seorang dokter, psikoterapis, dan ahli fisika,
Lozanov percaya bahwa teknik-teknik releksasi (persantaian) dan konsentrasi
akan menolong para pembelajar membuka sumber-sumber bawah sadar mereka dan
memperoleh serta menguasai jumlah kosa kata yang lebih banyak dan juga
struktur-struktur yang lebih mantap daripada yang mungkin pernah mereka
pikirkan (Richards dan Rodgers, 1993:142-143). Menurut Lozanow, sebagai
landasan yang paling dasar suggestopedia adalah suggestology, yakni
suatu konsep yang menyuguhkan suatu pandangan bahwa manusia bisa diarahkan
untuk melakukan sesuatu dengan memberikannya sugesti. Pikiran harus dibuat
setenang mungkin, santai, dan terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang
saraf penerimaan bisa dengan mudah diterima dan dipertahankan untuk jangka
waktu yang lama (Soenjono Dardjowidjojo, 1996:63).
Ciri-ciri metode ini mencakup suasana sugestif di
tempat penerapannya, dengan cahaya yang lemah lembut, musik yang sayup-sayup,
dekorasi ruangan yang ceria, tempat duduk yang menyenangkan, dan teknik-teknik
dramatik yang dipergunakan oleh guru dalam penyajian bahan pembelajaran. Semua
itu secara total bertujuan membuat para pembelajar santai, yang memungkinkan
mereka membuka hati untuk belajar bahasa dalam suatu model yang tidak menekan
atau membebani para siswa. (Richards dan Rodgers, 1993:142).
Dalam pengajaran bahasa, suasana tenang yang
dibutuhkan dicapai dengan berbagai cara, salah satu di antarnya adalah yoga.
Pada saat sebelum siswa mulai pelajaran, siswa diminta untuk melakukan yoga
yang tujuan utamanya adalah untuk menghimpun kemampuan yang hipermnestik, yaitu
suatu kemampuan supermemory yang luar biasa. Di samping perlunya
menggali hipermnesia ini, diperlukan pula atmosfer fisik yang mendukung proses
belajar mengajar. Atmosfer ini diciptakan
dengan pemilihan ruangan yang kondusif untuk proses pembelajaran.
Seperti yang telah disinggung di depan, ruang kelas ini dilengkapi dengan kursi
yang enak diduduki dan diatur agar bisa santai dan diterangi dengan lampu-lampu
yang redup serta diiringi dengan latar belakng musik yang sesuai dengan jiwa
bahan pembelajaran yang diberikan.
Suggestopedia tidak percaya pada penggunaan
laboratorium bahasa dan tidak pula percaya pada latihan-latihan struktural yang
ketat. Latihan dalam bentuk tubian yang mekanistik dipandang tidak akan
mendatangkan hasil yang baik. Sebaliknya, suggestopedia menekankan pada
penyerapan mental dari bahan pembelajaran yang diterima untuk kemudian
direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain di kelas.
Pada umumnya, bahan pelajaran diberikan dalam bentuk
dialog yang sangat panjang. Dialog dalam suggestopedia mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (1) penekanan pada kosa kata dan isi, (2) dasar pembuatan
dialog adalah keadaan atau peristiwa hidup yang riil, (3) harus secara
emosional relevan, (4) memiliki kegunaan praktis, dan (5) kata-kata yang baru
diberi garis bawah dan disertai transkripsi fonetis untuk lafalnya (Soenjono
Dardjowidjojo, 1996:64).
2. Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Teknik pelaksanaan pengajaran bahasa dengan
suggestopedia sangat unik. Untuk kelas yang intensif, pembelajar bertemu selama
empat jam sehari, enam kali seminggu, untuk jangka waktu satu bulan. Dengan
demikian, satu paket pelajaran terdiri atas 96 jam tatap muka. Untuk menjaga
atmosfer kelas agar sesuai dengan kondisi yang diinginkan, maka jumlah siswa
yang paling ideal adalah dua belas, lebih baik jika terdiri atas 6 pria dan 6
wanita.
Menurut Richards dan Rodgers (1993:150-151; baca juga
Soenjono Dardjowidjojo, 1996:64-65; Henry Guntur Tarigan, 1988: 262-263),
kegiatan pengajaran bahasa dengan suggestopedia terdiri atas tiga bagian, yang
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pertama, diadakan tinjauan
kembali atau mengulang
bahan pelajaran hari
sebelumnya. Ini dilakukan dalam bentuk
percakapan, permainan, sketsa, cerita lucu, dan akting. Bila siswa membuat
kesalahan, ia dibetulkan tetapi dengan nada yang mendorong ke arah positif.
Pada bagian ini, praktik yang mekanistik harus dihindari.
b. Kedua, bahan baru
disajikan dalam konteks
melalui dialog-dialog panjang
dan caranya tidak jauh berbeda dengan cara yang tradisional: bahan
disajikan dan diperagakan, diikuti dengan keterangan kata-kata baru dan tata
bahasa. Dialog yang dipergunakan sebagai bahan pelajaran harus relevan, riil,
menarik, dan dipergunakan sesuai dengan isinya.
c. Ketiga adalah bagian yang disebut séance. Séance
adalah pertemuan perkuliahan yang tujuannya ialah untuk reinforcement
bahan baru pada taraf bawah sadar. Pada tatap muka ini siswa duduk-duduk dan
menyantaikan diri mereka dengan postur duduk yang dinamakan Savasana. Kegiatan séance
terdiri dari dua macam, yang aktif dan yang pasif, dan kegiatan ini
berlangsung selama satu jam. Pada kegiatan aktif, siswa melakukan kontrol
terhadap pernapasan dengan ritme sebagai berikut: 2 detik pertama untuk menarik
napas, 4 detik kemudian untuk tahan napas, dan 2 detik terakhir untuk
istirahat. Proses ini diulang-ulang selama sekitar 25 menit. Pada dua detik
tarikan napas, guru menyajikan bahan dalam bentuk bahasa pertama untuk
memberikan siswa kesempatan mengerti apa
yang akan disajikan dalam bahasa kedua. Pada detik ketiga sampai keenam, siswa
menahan napas dan guru menyajikan bahan dalam bahasa kedua. Pada saat ini siswa
boleh melihat buku teks dan mengulang secara mental bahan yang sedang disajikan.
Pengulangan mental yang merupakan bagian dari inner speech ini oleh para
ahli ilmu jiwa Eropa Timur dianggap sangat bermanfaat untuk mmengembangkan
hypermnesia. Pada dua detik terakhir dari siklus pertama ini siswa melakukan
istirahat pernapasan untuk selanjutnya mengulangi siklus kedua, ketiga, dan
sebagainya. Bagian yang pasif dari séance selanjutnya, yang sering juga
disebut bagian konser, berlangsung sekitar 20-25 menit. Pada bagian ini siswa
mendengarkan suatu macam musik gaya baroque, yakni bentuk musik yang
berasal dari abad ke-17 yang penuh dengan ornamentasi dan improvisasi,
efek-efek yang kontrastif seperti tercermin pada karya Bach dan Handel. Para
siswa menutup mata dan memeditasikan bahan yang diperdengarkan. Konser ini
berakhir dengan bunyi seruling yang cepat dan gembira sehingga tergugahlah para
siswa dari meditasi mereka masing-masing.
Apabila prosedur tersebut dilaksanakan dalam situasi
dan kondisi yang kondusif, metode suggestopedia akan dapat memberikan hasil
yang luar biasa. Dalam hal retensi kosa kata untuk bahasa Jerman, Perancis,
Inggris, dan Italia, rata-rata retensinya mencapai 93,16%. Bahkan setelah
diselingi waktu sampai hampir tiga tahun pun retensi kosa kata masih sempurna.
Para penganut Lozanov menghasilkan angka yang berbeda-beda.
Dalam percobaannya dengan kata-kata bahasa Spanyol, Bordon dan Schuster
menyatakan suggestopedia memberikan hasil 2,5 kali lebih baik daripada metode
yang lain. Guru-guru di Iowa sedikit lebih baik, yakni mereka memerlukan hanya
sepertiga dari waktu yang diperlukan oleh metode lain. Klaim tertinggi
dinyatakan oleh Ostrander dan Schruder yang menyatakan bahywa suggestopedia
bisa menghasilkan sampai 50 kali lebih baik daripada metode lain (Bancroft
dalam Soenjono Dardjowidjojo, 1996:66).
Di samping keberhasilan seperti yang diuraikan di
atas, suggestopedia juga memiliki beberapa kelemahan. Omaggio (1986:85)
menyatakan bahwa kelemahan metode ini terletak pada bahan masukan secara
pedagogis dipersiapkan terlalu eksklusif dan aspek pemahaman membaca dan menyimak
terlalu terbatas. Selain itu, Steinberg (1986:193) mengemukakan bahwa
suggestopedia hanya cocok untuk kelas-kelas yang kecil dan belum ada ketentuan
dan persiapan bagi tingkat-tingkat menengah dan lanjutan.
Soenjono Dardjowidjojo (1996:66) memberikan kritik
yang realistis terhadap penerapan
suggestopedia. Menurutnya, apabila metode ini diterapkan di Indonesia
maka akan terjadi pertentangan antara prinsip dasar suggestopedia dengan
realitas yang dihadapi para guru di sekolah. Sebagai guru bahasa di sekolah,
mereka harus mengikuti suatu sistem kurikulum yang berlaku, dan sudah barang tentu sekolah tidak mungkin
menyediakan ruang yang besar untuk gerakan fisik siswa atau pun ruangan yang
nyaman dengan musik klasik, dekorasi ruang yang cerah, dan persyaratan
penciptaan kondisi suggestopedia lainnya.
C.
Suggestopedia:
Pendekatan Pengajaran Bahasa yang Bersifat Humanistik
Sebelum lahirnya pendekatan-pendekatan mutakhir dalam
pengajaran bahasa, pengajaran bahasa didominasi oleh pandangan yang menyatakan
bahwa guru adalah pemilik ilmu, sedangkan siswa selalu menjadi objek belaka.
Pandangan ini bertahan sampai tahun 1960-an. Ketika Chomsky melahirkan
teori-teorinya yang lebih modern, yang pada intinya menganggap bahwa belajar
bahasa adalah proses pembentukan kaidah dan yang lebih menekankan pada peranan
siswa, dominasi teori-teori lama itu mulai dipertanyakan.
Menurut teori belajar bahasa modern, siswa tidak lagi
dipandang sebagai peniru masukan bahasa yang sangat terkendali, tetapi merupakan
pelaku aktif dalam proses kreatif belajar bahasa. Sebaliknya guru tidak
merupakan satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar, tetapi ia juga
penerima informasi (information receiver) dan moderator.
Kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan
manusiawi serta tidak dapat dihindari.
Menurut Stevick (dalam Muljanto Sumardi, 1996:20),
pendekatan pengajaran bahasa yang mengutamakan peranan siswa dan berorientasi
pada kebutuhan siswa disebut pendekatan yang bersifat humanistik. Menurut
pendekatan ini, bahasa harus dilihat sebagai suatu totalitas yang melibatkan
peserta didik secara utuh bukan sekedar sebagai sesuatu yang intelektual
semata-mata. Seperti halnya guru, siswa adalah manusia yang mempunyai kebutuhan
emosional spiritual, maupun intelektual. Siswa hendaknya dapat membantu dirinya
dalam proses belajar mengajar. Siswa bukan sekedar penerima ilmu yang pasif.
Menurut Stevick, pengajaran bahasa dianggap tidak
bersifat humanistik apabila siswa belajar hanya karena tradisi atau karena
kemauan orang lain, atau apabila proses belajar mengajar dikuasai sepenuhnya
oleh guru. Tidak ada komunikasi antara guru dan siswa, antara siswa dengan
siswa yang lain. Siswa datang ke sekolah dengan rasa tegang, takut membuat
kesalahan, atau takut akan disalahkan guru.
Dalam pendekatan yang bersifat humanistik ini peranan
guru minim. Dengan kata lain, jika siswa harus berkomunikasi maka guru harus
melepaskan peranannya sebagai orang yang memberi ilmu dan bertindak sebagai
penerima informasi. Siswa disuruh memberanikan diri untuk tidak takut membuat
kesalahan, dan kesalahan harus diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tak
dapat dielakkan. Guru akhirnya berfungsi sebagai pengelola kelas dan pembimbing
untuk menolong siswa menyampaikan apa yang datang dari dalam dirinya sendiri,
bukan yang datang dari guru. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat membuat
kriteria-kriteria sendiri tentang bentuk-bentuk bahasa mana yang sesuai untuk mengungkapkan
pikiran-pikiran dalam bahasa asing yang sedang dipelajarinya.
Di samping berorientasi pada siswa, dimensi kedua yang
menjadi ciri pendekatan yang bersifat humanistik adalah adanya “the balance
of power” dalam kelas, yaitu derajat kebebasan, otonomi tanggung jawab dan
kreativitas yang menjadi bagian siswa.
Sejalan dengan pendapat Stevick, Wiga Rivers (dalam
Muljanto Sumardi, 1996:23) mengemukakan mengenai beberapa ciri pendekatan yang
bersifat humanistik, yaitu:
(1) Melibatkan
siswa seutuhnya dan memberi peranan lebih besar kepada siswa, induktif
pendekatannya dan non korektif. Yang terakhir ini artinya bahwa membuat
kesalahan dalam proses belajar itu wajar dan koreksi itu dilakukan kemudian.
Siswa diberi cukup waktu untuk melakukan koreksi. Hal ini tentu saja
dimaksudkan agar siswa tidak merasa tegang dan diburu-buru karena suatu
kesalahan.
(2) Pendekatan ini
menganjurkan dan menggalakkan situasi komunikatif dan mencoba menciptakan
suasana dan rasa kebersamaan.
Berdasarkan uraian tersebut dan setelah mengkaji
tentang prinsip-prinsip dasar suggestopedia yang telah diuraikan di depan maka
dapat disimpulkan bahwa suggestopedia termasuk pendekatan pengajaran bahasa
yang bersifat humanistik. Kesimpulan ini didukung pula oleh pendapat Lozanow yang
menyatakan bahwa dalam suggestopedia
tugas pertama dan tertinggi seorang guru adalah to liberate and encourage the student (membebaskan
dan mendorong siswa) (Muljanto Sumardi, 1996:21-22).
Cara yang dilakukan untuk mendorong siswa yaitu dengan
dessuggestion yang lemah lembut dan tak langsung. Untuk menumbuhkan learning
dan untuk dapat menggali potensi siswa yang terpendam dilakukan dengan
mendasarkan pada 3 prinsip, yaitu: (1) joy and psychorelaxation atau
kegembiraan dan kesantaian secara psikologis, (2) kemampuan memanfaatkan/ reserve
powers, yaitu bagian otak yang oleh kebanyakan siswa tidak dapat
dimanfaatkan, dan (3) kerjasama yang harmonis antara the conscious dan
the unconscious.
Menurut Lozanow, hanya dalam keadaan gembira dan
tenang siswa akan dapat menggunakan potensinya yang terpendam. Banyak guru
setuju bahwa rasa takut dan bosan adalah musuh utama learning. Rasa
gembira dan tenang merupakan prasyarat bagi proses belajar yang efektif dan
cepat. Ini berarti bahwa dalam mempelajari bahasa siswa harus merasa aman, tak
terancam, santai, dan juga tertarik pada pelajaran dan merasa terlibat dalam
berbagai kegiatan yang bermakna dalam bahasa yang dipelajarinya.
III. SIMPULAN
Berdasarkan
uraian pada bagian pembahasan, selanjutnya dapat dirumuskan beberapa simpulan
sebagai berikut.
1.
Bahasa Inggris adalah bahasa kedua (L2) atau bahasa
asing pertama yang diajarkan di sekolah-sekolah formal di Indonesia. Yang
dimaksud dengan bahasa kedua (L2) adalah bahasa yang tidak diperoleh seseorang
secara wajar dari kecil. Belajar bahasa kedua pada umumnya dilakukan secara
formal.
2.
Dalam pembelajaran bahasa kedua, dikenal salah satu
metode/pendekatan pengajaran bahasa mutakhir yang bersifat humanistik, yaitu
pendekatan suggestopedia. Suggestopedia
pertama kali dikemukakan oleh seorang dokter dan psikoterapis dari Bulgaria yang bernama
Georgi Lozanov. Menurut pendekatan ini, manusia bisa diarahkan untuk melakukan
sesuatu dengan memberikan sugesti. Pikiran harus dibuat setenang mungkin,
santai, dan terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan bisa
dengan mudah diterima dan dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.
Suggestopedia mensyaratkan adanya suasana sugestif, misalnya dengan cahaya yang
temaram, musik latar yang sayup-sayup, dekorasi ruang yang ceria, tempat duduk
yang menyenangkan, dan sebagainya.
3.
Pendekatan suggestopedia termasuk pendekatan yang
bersifat humanistik, karena suggestopedia dalam penerapannya mengutamakan
peranan siswa, berorientasi pada kebutuhan siswa, dan adanya the balance of
power dalam kelas, yaitu derajad kebebasan, otonomi tanggung jawab, dan
kreativitas yang menjadi bagian siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar