Pembelajaran Berbasis Blended
Learning
Sekarang ini, kita telah memasuki masa yang disebut sebagai abad pengetahuan (knowledge age). Tahapan perkembangan budaya manusia terdiri atas empat tahap, yaitu:
1. Abad agraris (sebelum tahun 1880)
2. Abad industri (1880–1985)
3. Abad informasi
(1955–2000)
4. Abad pengetahuan (1995–sekarang) (Galbreth, 1999).
Tahapan tonggak-tonggak sejarah peradaban manusia
tersebut dilalui melalui belajar sepanjang hayat. Pada abad pengetahuan,
berbagai karakteristik yang melingkupi kehidupan sangat berbeda dengan
karakteristik kehidupan pada abad industri dan abad pertanian. Pada abad
pengetahuan teknologi utama yang menjadi landasannya adalah komputer, pada abad
industri berupa mesin, sedangkan pada abad pertanian adalah bajak. Galbreth
(1999) lebih lanjut mengidentifikasi karakteristik perkem-bangan ekonomi
berdasarkan teknologi utama, ilmu yang digunakan, tujuan, keluaran, bentuk
organisasi, pekerja utama, dan sifat-sifat produksinya.
Transformasi utama ekonomi dan pendidikan (Adaptasi dari
Galbreth, 1999)
Tahapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu berjalan mengikuti rumus deret hitung kemudian, pada periode belakangan berjalan menurut rumus deret ukur. Mula-mula lambat, makin lama makin cepat, dan sekarang ini, percepatan revolusi peradaban manusia dalam belajar sangat mengagumkan, yang belum pernah ditemui pada abad sebelumnya. Karakteristik perkembangan ekonomi (Galbreth, 1999).
Tahapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu berjalan mengikuti rumus deret hitung kemudian, pada periode belakangan berjalan menurut rumus deret ukur. Mula-mula lambat, makin lama makin cepat, dan sekarang ini, percepatan revolusi peradaban manusia dalam belajar sangat mengagumkan, yang belum pernah ditemui pada abad sebelumnya. Karakteristik perkembangan ekonomi (Galbreth, 1999).
DIMENSI PERTANIAN INDUSTRI INFORMASI/ PENGETAHUAN
Teknologi utama Bajak Mesin Komputer Ilmu Teknik sipil Teknik Mekanik Bio Teknik Tujuan Kelangsungan hidup Kebendaan Perkembangan personal Keluaran Makanan Barang Informasi Sumber Tanah Modal Pengetahuan Bentuk organisasi Keluarga Perusahaan Jaringan Sumber energi Binatang Minyak fosil Pikiran Perkerja utama Petani Laboran Kewirausahaan Sifat produksi Diri sendiri Masal Individu
Kecenderungan pembelajaran masa depan telah mengubah pendekatan pembelajaran tradisional ke arah pembelajaran masa depan yang disebut sebagai pembelajaran abad pengetahuan, bahwa orang dapat belajar: di mana saja, artinya orang dapat belajar di ruang kelas/kuliah, di perpustakaan, di rumah, atau di jalan; kapan saja, tidak sesuai yang dijadwalkan bisa pagi, siang sore atau malam; dengan siapa saja, melalui guru, pakar, teman, anak, keluarga atau masyarakat; melalui sumber belajar apa saja, melalui buku teks, majalah, koran, internet, CD ROM, radio, televisi, dan sebagainya.
Ciri-ciri pembelajaran pada abad pengetahuan, yaitu: guru sebagai fasilitator, pembimbing dan konsultan, guru sebagai kawan belajar, belajar diarahkan oleh orang yang belajar, belajar secara terbuka, fleksibel sesuai keperluan, belajar terutama berdasarkan proyek dan masalah, berorientasi pada dunia empirik dengan tindakan nyata, metode penyelidikan dan perancangan, menemukan dan menciptakan, kolaboratif, berfokus pada masyarakat, hasilnya terbuka, keanekaragaman yang kreatif, komputer sebagai peralatan semua jenis belajar, interaksi multimedia yang dinamis, serta komunikasi yang tidak terbatas.
Untuk merekayasa sistem pembelajaran pada abad pengetahuan ini, perlu pula dipahami hakikat, terminologi atau pengertian tentang pembelajaran. Kata pembelajaran, sekarang ini, lebih banyak digunakan untuk mengganti kata pengajaran. Padahal, pembelajaran memiliki makna yang berbeda dibandingkan dengan pengajaran. Pembelajaran merujuk ke memfasilitasi belajar, sedangkan pengajaran merujuk ke arah mengajar (interaksi dengan pengajar sebagai sumber belajar utama). Pembelajaran lebih menekankan pada upaya menata lingkungan di luar diri pebelajar (faktor eksternal), agar terjadi proses belajar (faktor internal).
Sedangkan pengajaran lebih menekankan pada proses
mengajar-belajar dengan pengajar (guru) sebagai aktor utama, atau dibarengi
dengan media sebagai alat bantu atau alat peraga lainnya. Orang yang belajar
disebut pebelajar (learner). Siapa saja orang yang belajar, disebut pebelajar,
entah itu siswa, mahasiswa, taruna AKABRI, dosen, manajer, atau siapa saja.
Sumber belajar merupakan sumber utama untuk menstimulasi terjadinya proses
belajar sedangkan proses agar terjadi belajar disebut pembelajaran. Sasaran utama
pembelajaran adalah merekayasa faktor-faktor eksternal dan lingkungan sebagai
sumber belajar agar mendorong prakarsa belajar.
Dengan demikian, pembelajaran adalah upaya menata lingkungan sebagai sumber belajar agar terjadi proses belajar pada diri si pebelajar. Upaya menata lingkungan dilakukan dengan menyediakan sumber-sumber belajar, misalnya: guru, buku teks, bahan pembelajaran, orang sumber, televisi, VCD, radio-kaset, majalah, koran, internet, CD ROM, lingkungan dan bahkan juga temannya sendiri. Ukuran keberhasilan pembelajaran adalah proses terjadinya interaksi antara pebelajar yang belajar dengan pembelajar. Bukan terletak pada pengajar yang menyampaikan informasi (mengajar).
Dengan demikian, pembelajaran adalah upaya menata lingkungan sebagai sumber belajar agar terjadi proses belajar pada diri si pebelajar. Upaya menata lingkungan dilakukan dengan menyediakan sumber-sumber belajar, misalnya: guru, buku teks, bahan pembelajaran, orang sumber, televisi, VCD, radio-kaset, majalah, koran, internet, CD ROM, lingkungan dan bahkan juga temannya sendiri. Ukuran keberhasilan pembelajaran adalah proses terjadinya interaksi antara pebelajar yang belajar dengan pembelajar. Bukan terletak pada pengajar yang menyampaikan informasi (mengajar).
Dengan demikian, rekayasa pembelajaran yang utama
adalah penyediaan sumber-sumber belajar. Guru bukan satu-satunya sumber
belajar, ia hanya salah satu bagian dari sumber belajar. Semua sumber-sumber
belajar dirancang agar dapat mendorong prakarsa dan proses belajar menjadi
lebih efektif, efisien, dan menarik, agar pebelajar tetap “betah” untuk terus
belajar. Oleh karena itu, fungsi guru akan berubah ke arah guru sebagai
pengelola pembelajaran. Fungsi guru yaitu merancang penyediaan sumber-sumber
belajar agar belajar menjadi lebih mudah, lebih cepat, lebih menarik, dan lebih
menyenangkan.
Dalam merekayasa sistem pembelajaran yang optimal, ada delapan faktor yang saling berinteraksi, yaitu:
1. Pembelajar (siswa, mahasiswa, santri, karyawan, masyarakat).
2.Isi (apa isi yang diajarkan: fakta, konsep, prinsip, pemecahan masalah.
3. Tujuan (pengetahuan, sikap, perilaku).
4. Lingkungan belajar (di kelas, laboratorium,
perpustakaan, lapangan).
5. Pembelajar (siapa pembelajaranya).
6. Sumber belajar (buku, majalah, koran, VCD, komputer, radio).
7. Strategi (pengelolaan, penyampaian, organisasi).
8. Evaluasi (tes lisan, tes tertulis, menyusun karya tulis, porto folio, dan
memecahkan masalah).
Pada setiap
peristiwa pembelajaran baik yang di lakukan di sekolah maupun di luar sekolah,
kedelapan faktor ini harus menjadi pertimbangan utama.
Dalam berbagai kajian dan penelitian dinyatakan bahwa pendidikan merupakan indikator kejayaan bangsa, demikian pula guru memegang peran penting dalam membelajarkan para peserta didik (learner). Oleh karena itu, pembelajaran yang dilakukan guru menjadi indikator kunci keberhasilan pendidikan. Memasuki abad dua puluh satu ini, guru sebagai sumber belajar utama dirasa tidak memadai lagi, sumber belajar guru harus terintegrasi dengan sumber belajar lain, yaitu sumber belajar cetak, audia, audio visual, dan komputer. Bahkan perlu juga memanfaatkan handphone sebagai mobile learning.
Dalam berbagai kajian dan penelitian dinyatakan bahwa pendidikan merupakan indikator kejayaan bangsa, demikian pula guru memegang peran penting dalam membelajarkan para peserta didik (learner). Oleh karena itu, pembelajaran yang dilakukan guru menjadi indikator kunci keberhasilan pendidikan. Memasuki abad dua puluh satu ini, guru sebagai sumber belajar utama dirasa tidak memadai lagi, sumber belajar guru harus terintegrasi dengan sumber belajar lain, yaitu sumber belajar cetak, audia, audio visual, dan komputer. Bahkan perlu juga memanfaatkan handphone sebagai mobile learning.
Guru masa depan dalam kegiatan pembelajaran dapat berfungsi sebagai seniman (artist) dan ilmuwan (scientist) dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran dan mengelola sumber-sumber belajar yang sengaja dirancang dan dimanfaatkan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan, sikap, dan keterampilan guru dalam merancang pembelajaran terutama dalam upaya memecahkan masalah atau mengaplikasikan dalam rancangan pembelajaran mata pelajaran agar kualitas pembelajaran meningkat yang sensitif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kenal dengan Pembelajaran Berbasis Blended Learning (PPBL). Dengan PBPL maka pembelajaran bukan hanya berbasis pada tatap muka, tetapi dikombinasikan dengan sumber yang bersifat Offline maupun Online.
Agar para pengajar di Indonesia sensitif terhadap perkembangan pengetahuan tentang pembelajaran masa depan, diperlukan serangkaian kegiatan secara inklusif maupun eksklusif, massal maupun terbatas oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas pengajar. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui seminar, pelatihan, dan lokakarya dengan baik secara sentralisasi maupun desentralisasi.
Modus Pembelajaran
Blended Learning Blended learning terdiri dari kata blended (kombinasi atau campuran) dan learning (belajar). Istilah lain yang sering digunakan adalah hybrid course (hybrid = campuran/kombinasi, course = mata kuliah). Makna asli sekaligus yang paling umum blended learning mengacu pada belajar yang mengkombinasi atau mencampur antara pembelajaran tatap muka (face to face = f2f) dan pembelajaran berbasis komputer (online dan offline). Thorne (2003) menggambarkan blended learning sebagai "It represents an opportunity to integrate the innovative and technological advances offered by online learning with the interaction and participation offered in the best of traditional learning. Sedangkan Bersin (2004) mendefinisikan blended learning sebagai: “the combination of different training “media” (technologies, activities, and types of events) to create an optimum training program for a specific audience.
The term “blended” means that traditional
instructor-led training is being supplemented with other electronic formats. In
the context of this book, blended learning programs use many different forms of
e-learning, perhaps complemented with instructor-led training and other live
formats”. Istilah blended learning pada awalnya digunakan untuk menggambarkan
mata kuliah yang mencoba menggabungkan pembelajaran tatap muka dengan
pembelajaran online. Saat ini istilah blended menjadi populer, maka semakin
banyak kombinasi yang dirujuk sebagai blended learning. Dalam metodologi
penelitian, digunakan istilah mixing untuk menunjukkan kombinasi antara
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Adapula yang menyebut di dalam
pembelajaran adalah pendekatan eklektif, yaitu mengkombinasi berbagai
pendekatan dalam pembelajaran.
Namun, pengertian pembelajaran berbasis blended
learning adalah pembelajaran yang mengkombinasi strategi penyampaikan
pembelajaran menggunakan kegiatan tatap muka, pembelajaran berbasis komputer
(offline), dan komputer secara online (internet dan mobile learning).
Pembelajaran berbasis Blended learning berkembang sekitar tahun 2000 dan
sekarang banyak digunakan di Amerika Utara, Inggris, Australia, kalangan
perguruan tinggi dan dunia pelatihan. Melalui blended learning semua sumber
belajar yang dapat memfasilitasi terjadinya belajar bagi orang yang belajar
dikembangkan.
Pembelajaran blended dapat menggabungkan pembelajaran
tatap muka (face-to-face) dengan pembelajaran berbasis komputer. Artinya,
pembelajaran dengan pendekatan teknologi pembelajaran dengan kombinasi
sumber-sumber belajar tatap muka dengan pengajar maupun yang dimuat dalam media
komputer, telpon seluler atau iPhone, saluran televisi satelit, konferensi
video, dan media elektronik lainnya. Pebelajar dan pengajar/fasilitator bekerja
sama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Tujuan utama pembelajaran blended adalah memberikan
kesempatan bagi berbagai karakteristik pebelajar agar terjadi belajar mandiri,
berkelanjutan, dan berkembang sepanjang hayat, sehingga belajar akan menjadi
lebih efektif, lebih efisien, dan lebih menarik.
Pembelajaran Berbasis Blended Learning (Kombinasi tatap muka, offline, dan online) Walaupun masih terjadi perdebatan ekstrim antara pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran berbasis komputer, buku ini tidak berpretensi untuk melemahkan salah satu di antaranya, tetapi justru ingin memadukan atau mengkombinasikan berbagai modus belajar yang telah berkembang sampai saat ini. Hasil penelitian yang dilakukan Dziuban, Hartman, dan Moskal (2004) menemukan bahwa program blended learning memiliki potensi untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan juga menurunkan tingkat putus sekolah dibandingkan dengan pembelajaran yang sepenuhnya pembelajaran online.
Pembelajaran Berbasis Blended Learning (Kombinasi tatap muka, offline, dan online) Walaupun masih terjadi perdebatan ekstrim antara pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran berbasis komputer, buku ini tidak berpretensi untuk melemahkan salah satu di antaranya, tetapi justru ingin memadukan atau mengkombinasikan berbagai modus belajar yang telah berkembang sampai saat ini. Hasil penelitian yang dilakukan Dziuban, Hartman, dan Moskal (2004) menemukan bahwa program blended learning memiliki potensi untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan juga menurunkan tingkat putus sekolah dibandingkan dengan pembelajaran yang sepenuhnya pembelajaran online.
Demikian juga ditemukan bahwa model pembelajaran
berbasis blended lebih baik daripada pembelajaran tatap muka (Face to face).
Berdasarkan temuannya yang disajikan dalam Tabel 1 menunjukkan perbandingan
tingkat keberhasilan (bagi siswa mencapai nilai A, B, atau C) selama dua tahun
persembahan. Di samping untuk meningkatkan hasil belajar, bermanfaat pula untuk
meningkatkan hubungan komunikasi pada tiga mode pembelajaran yaitu lingkungan
pembelajaran yang berbasis ruang kelas tradisional, yang blended, dan yang
sepenuhnya online. Para peneliti memberikan bukti yang menunjukkan bahwa
blended learning menghasilkan perasaan berkomunitas lebih kuat antar mahasiswa
daripada pembelajaran tradisional atau sepenuhnya online (Rovai dan Jordan,
2004).
Dalam penelitian pengembangan SDM di perusahaan,
Barbian (2002) menyimpulkan bahwa metode blended learning meningkatkan
produktivitas karyawan lebih besar daripada metode pembelajaran tunggal.
Komposisi blended yang sering digunakan yaitu 50/50, artinya dari alokasi waktu
yang disediakan, 50% untuk kegiatan pembelajaran tatap muka dan 50% dilakukan
pembelajaran online. Atau ada pula yang menggunakan komposisi 75/25, artinya
75% pembelajaran tatap muka dan 25% pembelajaran online. Demikian pula dapat
dilakukan 25/75, artinya 25% pembelajaran tatap muka dan 75% pembelajaran
online.
Pertimbangan untuk menentukan apakah komposisinya
50/50, 75/25 atau 25/75 bergantung pada analisis komptensi yang ingin
dihasilkan, tujuan mata pelajaran, karakteristik pebelajar, interaksi tatap
muka, strategi penyampaian pembelajaran online atau kombinasi, karakteristik,
lokasi pebelajar, karakteristik dan kemampuan pengajar, dan sumber daya yang
tersedia. Berdasarkan analisis silang terhadap berbagai pertimbangan tersebut,
pengajar akan dapat menentukan komposisi (presentasi) pembelajaran yang paling
tepat. Namun demikian, pertimbangan utama dalam merancang komposisi
pembelajaran adalah penyediaan sumber belajar yang cocok untuk berbagai
karakteristik pebelajar agar dapat belajar lebih efektif, efisien, dan menarik.
Dalam skenario pembelajaran berikutnya tentu saja harus memutuskan untuk tujuan
mana mana yang dilakukan dengan pembelajaran tatap muka, dan bagian mana yang
offline dan online. Misalnya dalam pembelajaran pendidikan jasmani, pada saat
menjelaskan pengetahuan dan teknik gerak dapat dilakukan melalui pembelajaran
berbasis komputer (offline), untuk melihat aplikasi gerakan dalam suatu
pertandingan dapat dilakukan melalui akses internet (online), dan pada saat
menjelaskan dan mendemonstrasikan, melatih keterampilan, melatih disiplin, dan
sportivitas lebih cocok dilakukan dengan tatap muka. Demikian pula dalam
pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di mana guru atau instruktur semua kegiatan berbasis audio (pemahaman
pendengaran, ekspresi oral) akan berlangsung di ruang kelas, sedangkan kegiatan
berbasis teks akan dilakukan secara online.
Yang
penting, pembelajaran berbasis blended learning bertujuan untuk memfasilitasi
terjadinya belajar dengan menyediakan berbagai sumber belajar dengan
memperhatikan karakteristik pebelajar dalam belajar. Pembelajaran juga dapat
mendorong peserta untuk memanfaatkan sebaik-baiknya kontak face-to-face dalam
mengem-bangkan pengetahuan. Lalu, persiapan dan tindak-lanjutnya dapat
dilakukan secara offline dan online. Program belajar yang total online tidak
dianjurkan untuk pembelajaran yang masih mempertimbangkan perlunya kontak tatap
muka antara pebelajar dan pengajar. Namun, dalam pembelajaran ada kalanya
pebelajar tidak dapat datang karena berbagai kendala, misalnya di jurusan
pendidikan jasmani ada sebagian mahasiswa yang aktif sebagai olahragawan yang
mempunyai jadwal latihan dan pertandingan yang ketat dan tidak sinkron dengan
jadwal perkuliahan, maka pembelajaran berbasis offline dan online menjadi
memungkinkan untuk dilakukan pada kelas reguler mahasiswa.
Pembelajaran berbasis blended learning merupakan
pilihan terbaik untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan daya tarik yang
lebih besar dalam berinteraksi antar manusia dalam lingkungan belajar yang
beragam. Belajar blended menawarkan kesempatan belajar untuk menjadi baik
secara bersama-sama dan terpisah, demikian pula pada waktu yang sama maupun
berbeda. Sebuah komunitas belajar dapat dilakukan oleh pelajar dan pengajar
yang dapat berinteraksi setiap saat dan di mana saja karena memanfaatkan yang
diperoleh komputer maupun perangkat lain (iPhone) sebagai fasilitasi belajar.
Blended learning memberikan fasilitasi belajar yang sangat sensitif terhadap
segala perbedaan karakteristik pskiologis maupun lingkungan belajar.
Rata-Rata Persentasi Hasil Belajar Tatap Muka Dan
Blended Berdasarkan Etnis (Rovai Dan Jordan, 2004) Hasil penelitian Karen
Precel, Yoram Eshet-Alkalai, and Yael (2009) terkait dengan kontribusi
komponen-komponen dalam blended learning menunjukkan bahwa komponen
pembelajaran yang dianggap paling berkontribusi belajar adalah tugas-tugas
(rerata = 4,72), buku cetak (rerata = 4,54), presentasi pertemuan (rerata =
4,42), dan pertemuan kuliah tatap muka dengan instruktur (rerata = 4,15). Video
online kuliah memberikan kontribusi terhadap belajar (rerata = 3,83), buku
pelajaran online memiliki kontributsi rata-rata untuk belajar (rerata = 3.32),
walaupun kontribusinya rendah hampir setengah dari peserta (46,5%) menyatakan
sering menggunakannya.
Sejarah Blended Learning Pembelajaran berbasis blended
learning dimulai sejak ditemukan komputer, walaupun sebelum itu juga sudah
terjadi adanya kombinasi (blended). Terjadinya pembelajaran awalnya karena
adanya tatap muka dan interaksi antara pengajar dan pebelajar, setelah
ditemukan mesin cetak maka guru memanfaatkan media cetak. Pada saat ditemukan
media audio visual, sumber belajar dalam pembelajaran mengkombinasi antara
pengajar, media cetak, dan audio visual.
Namun terminologi blended learning muncul setelah
berkembangkanya teknologi informasi sehingga sumber dapat diakses oleh
pebelajar secara offline maupun online. Saat ini, pembelajaran berbasis blended
learning dilakukan dengan menggabungkan pemb elajaran tatap muka, teknologi
cetak, teknologi audio, teknologi audio visual, teknologi komputer, dan
teknologi m-learning (mobile learning). Bersin (2004) menggambarkan sejarah
blended learning yang berkembang di dunia pelatihan pada awalnya juga seperti
yang dilakukan pada lembaga pendidikan yaitu sumber belajar utama adalah
pelatih/fasilitator. Dengan ditemukannya teknologi komputer, pelatihan
dilakukan menggunakan mainframe based yang dapat melakukan kegiatan pelatihan
secara individual tidak bergantung pada waktu dan materi yang sama (tidak
sinkron).
Perkembangan berikutnya pembelajaran yang tetap
mengguna-kan basis komputer tetapi daya jangkaunya menjadi lebih luas melintasi
pulau dan benua karena perkembangan teknologi satelit. Demikian pula, isi
pelatihan dilakukan pengebarannya melalui CD ROM dan internet. Saat ini
pelatihan menggabungkan semua itu agar pembelajaran menjadi lebih efektif,
efisien dengan konsep kombinasi (blended).
Perkembangan Pembelajaran di Dunia Pelatihan (Bersin, 2004)
Pelatihan oleh Instruktur Dalam kegiatan ini peran instruktur/fasilitator sangat penting dalam membangun pengetahuan para peserta pelatihan. Interaksi yang dibangun oleh instruktur dan peserta menjadi hubungan antar manusia. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki instruktur, misalnya profesor, doktor, guru, ahli materi atau praktisi dapat dilakukan di ruang kelas, misalnya instruktur dapat menjelaskan sambil bercerita lucu dan menarik sehingga tidak membosankan. Mereka dapat menarik antusias untuk belajar lebih lanjut berdasarkan pengalaman belajar yang diangun dikaitkan dengan pengalaman yang telah dimiliknya.
Pelatihan oleh Instruktur Dalam kegiatan ini peran instruktur/fasilitator sangat penting dalam membangun pengetahuan para peserta pelatihan. Interaksi yang dibangun oleh instruktur dan peserta menjadi hubungan antar manusia. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki instruktur, misalnya profesor, doktor, guru, ahli materi atau praktisi dapat dilakukan di ruang kelas, misalnya instruktur dapat menjelaskan sambil bercerita lucu dan menarik sehingga tidak membosankan. Mereka dapat menarik antusias untuk belajar lebih lanjut berdasarkan pengalaman belajar yang diangun dikaitkan dengan pengalaman yang telah dimiliknya.
Mereka dapat mengajukan dan menjawab pertanyaan serta
mengkondisikan kelas berdasarkan keadaan. Bahkan lebih penting lagi ─yang tidak bisa kita pelajari dari e-learning─ pembelajaran yang dipimpin seorang fasilitator dalam
kelas memiliki nilai dan budaya karena para peserta berinteraksi dan belajar
satu sama lain secara langsung. Namun hal ini juga menjadi kelemahan, jika
fasilitatornya tidak kurang ahli dalam isi maupun berinteraksi dengan peserta
pelatihan. Pelatihan menjadi membosankan. Kemudian, kekurangan terbesar dalam
pembelajaran tatap muka adalah skala jangkauan, baik jarak maupun jumlah
peserta. Tidak mungkin pembelajaran tersebut menjangkau ribuan peserta.
Dengan pembelajaran tatap muka hanya memiliki dua
pilihan yaitu ukuran kelas yang besar atau kelas yang banyak. Ukuran kelas yang
sangat besar mengurangi efektivitas, kelas yang banyak akan memerlukan waktu
lebih banyak, dan lebih lagi kelas-kelas yang berjauhan akan memerlukan biaya
perjalanan sangat mahal. Dalam suatu kegiatan pelatihan yang harus diselesaikan
dalam batas waktu yang ketat dan jumlah jam yang tersedia untuk peserta
terbatas, jika mengandalkan pembelajaran tatap muka ini kita akan menemui
kesulitan. Secara teoritis, jika menggunakan teknologi kita bisa mencapai
peserta lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Pelatihan Berbasis
Mainframe Pendekatan pembelajaran berbasis teknologi pertama diawali pada tahun
1960-an dan 1970-an dengan penggunaan mainframe (komputer besar dengan
kemampuan super) sebagai pengolah data dan mini komputer (sekarang = personal
computer) sebagai tampilan antar muka bagi peserta. Sistem yang pertama dibuat
diberi nama PLATO, sebuah sistem yang dikembangkan pada tahun 1963 oleh
Universitas Illinois.
PLATO mempelopori penggunaan komputer dalam
penyelenggaraan pendidikan tradisional dan masih terus dikembangkan hingga
sekarang dengan nama PLATO IV. Sistem tersebut di atas memiliki keterbatasan
tampilan berbasis teks, belum mampu menyuguhkan bentuk-bentuk gambar, animasi,
dan video yang memukau seperti sekarang ini. Walaupun begitu, pada saat itu
teknologi ini telah memberikan manfaat yang luar biasa karena dengan waktu
pelatihan tatap muka yang sama, sistem ini mampu menjangkau ratusan hingga
ribuan orang yang dapat belajar tanpa meninggalkan tempat kerja mereka.
Era inilah yang menjadi awal dari apa yang kita sebut
sekarang ini sebagai blended learning. Siaran Langsung Video berbasis Satelit
Evolusi teknologi pelatihan berikutnya dilakukan pada tahun 1970-an, ketika
banyak perusahaan mulai menggunakan jaringan video untuk memperluas jangkauan
pelatihan secara langsung. Pembelajar bisa duduk di kelas atau tetap di tempat
kerja menyaksikan instruktur di TV, mengobrol dan berinteraksi dengan siswa
lain, dan bertanya pada instruktur. Salah satu contohnya adalah Universitas
Stanford dengan jaringan Interaktif TV nya, sampai sekarang jaringan ini masih
digunakan di seluruh Lembah Silicon Valley.
Universitas Stanford mengembangkan jaringan video di
tahun 1970-an dan 1980-an yang memungkinkan para profesor Stanford untuk
mengajar ke seluruh teluk San Francisco tanpa meninggalkan kampus. Para peserta
pelatihan tidak perlu meninggalkan tempat kerja mereka untuk belajar. Mereka
menyerahkan hasil latihan dan tes melalui kurir. Jika pelatihan dilakukan di
ruang kelas, ruang kelas memiliki kamera TV yang memungkinkan instruktur untuk
melihat seluruh kelas. Peserta dapat dapat menekan tombol untuk mengajukan pertanyaan.
Sampai saat ini, live video tetap menjadi pendekatan pelatihan yang penting
dalam banyak perusahaan. Perusahaan General Motors di Amerika, misalnya, sangat
bergantung pada instruksi-instruksi berbasis video untuk melatih para
dealernya.
Jika peserta tidak memiliki akses ke komputer,
pelatihan live video ini sangat tepat. Beban pembangunan dan pemeliharaan
jaringan video yang dahulu mahal, pada saat ini tidak lagi karena jaringan
kabel video telah digantikan oleh yang lebih rendah biayanya dengan sistem
berbasis IP (internet protocol) digital seperti web-casting dan video berbasis
web.
Pelatihan dengan Personal Computer CD-ROM Pada awal 1980-an ketika PC (personal computer) muncul, para pelatih dan pendidik penuh antusias memanfaatkan teknologi PC multimedia. Perusahaan komputer melihat peluang pasar dan mulai membuat model PC khusus dengan fitur yang dirancang untuk pelatihan multimedia. Era CD (Compact Disk) ROM merupakan dasar bagi pelatihan berbasis web seperti yang kita lihat sekarang ini.
Pelatihan dengan Personal Computer CD-ROM Pada awal 1980-an ketika PC (personal computer) muncul, para pelatih dan pendidik penuh antusias memanfaatkan teknologi PC multimedia. Perusahaan komputer melihat peluang pasar dan mulai membuat model PC khusus dengan fitur yang dirancang untuk pelatihan multimedia. Era CD (Compact Disk) ROM merupakan dasar bagi pelatihan berbasis web seperti yang kita lihat sekarang ini.
Penyedia jasa pelatihan menyadari bahwa komputer dapat
menghasilkan gambar, suara, video, dan interaktivitas yang tinggi. Dengan media
penyimpanan yang tersedia secara luas dalam bentuk CD-ROM, materi (isi) belajar
bisa didistribusikan dengan mudah. Learning Management Sistem Untuk mengatasi
keterbasan pemanfaatan CD-ROM, seperti bagaimana mengelola semua salinan materi
yang didistribusikan, siapa yang menggunakannya?, apa yang mereka lakukan?,
bagaimana memonitor bahwa mereka telah menyelesaikan latihan?, maka diciptakan
Learning
Management Sistem (LMS), sebuah perangkat lunak pada
jaringan yang bisa melacak dan mengelola semua pengguna pelatihan berbasis
CD-ROM. LMS yang pertama dikembangkan terutama untuk mengelola pendaftaran,
pelacakan, dan penyelesaian pelatihan berbasis CD-ROM melalui jaringan.
Sekelompok maskapai penerbangan memanfaatkan model
pelatihan ini dengan mengembangkan standar baru yang disebut sebagai Aviation
Industry CBT Committee (AICC). Pada saat itu LMS digunakan untuk mengetahui
kapan peserta mulai berlatih, berapa nilai yang dicapai, dan berapa banyak
waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan pelatihan. Pembelajaran Berbasis Web
Temuan-temuan di bidang komputer yang memungkinkan komputer semakin cepat dan
akses jaringan internet semakin mudah dan murah.
Dengan kecepatan internet yang tinggi, suatu materi
pembelajaran multimedia dapat didistribusikan dengan cepat ke banyak pengguna.
Web Based Training umumnya dikelola oleh aplikasi LMS yang telah berkembang
sedemikian pesatnya dengan fitur yang semakin lengkap. Ada banyak sekali
aplikasi LMS, namun yang banyak digunakan adalah moodle yaitu program untuk
mengelola pembelajaran berbasis web. Saat ini berbagai lembaga pelatihan dan
pendidikan sekolah memiliki berbagai pilihan untuk melakukan pembelajaran
dengan cara mengkombinasi berbagai kelebihan mode pembelajaran (blended).
Pembelajaran melalui tatap muka dikombinasi dengan
belajar sendiri (asynchronous) melalui web, CD-ROM, dan buku. Kemudian
dikombinasi melalui pembelajaran langsung tanpa tatap muka dengan instruktur
atau pengajar melainkan langsung melalui sumber belajar onnline (synchronous)
melalui web-casting, siaran langsung video, konferensi video, dan pembelajaran
tatap muka di kelas.
Keuntungan Blended Learning Berdasarkan perkembangan
teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran, saat ini tidak ada metode
pembelajaran tunggal yang ideal untuk semua jenis pembelajaran pelatihan,
karena setiap teknologi memiliki keunggulan masing-masing. Teknologi cetak
memiliki keunggulan yang sangat fleksibel sebagai sumber belajar, dapat dibawa
ke mana-mana tanpa menggunakan listrik. Sedangkan komputer mempunyai keunggulan
pembelajaran yang lebih interaktif dapat berupa teks, gambar, film, animasi dan
dapat dikonversi dalam berbagai bentuk digital, tetapi mobilitasnya terbatas
karena bergantung kepada catu daya listrik. Pada kasus tertentu pembelajaran
melalui audio lebih efektif dibandingkan dengan video. Jadi masing-masing
teknologi mempunyai keunggulan untuk tujuan belajar tertentu, untuk
karakteristik bidang tertentu.
Demikian juga
metode pembelajaran untuk siswa di Sekolah Dasar dapat efektif, tetapi tidak
untuk mahasiswa pascasarjana, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu
diperlukan metode pembelajaran yang berbeda untuk karakteristik pebelajar yang
berbeda. Untuk memenuhi semua kebutuhan belajar dengan berbagai karakteristik
orang yang belajar maka pendekatan melalui blended learning adalah yang paling
tepat. Dengan blended leaning memungkinkan pembelajaran menjadi lebih
profesional untuk menangani kebutuhan belajar dengan cara yang paling efektif,
efisien, dan memiliki daya tarik yang tinggi.
Keuntungan yang
diperoleh dengan manfaat pembelajaran berbasis blended bagi lembaga pendidikan
atau pelatihan adalah: • memperluas jangkauan pembelajaran/pelatihan; •
kemudahan implementasi; • efisiensi biaya; • hasil yang optimal; • menyesuaikan
berbagai kebutuhan pebelajar, dan • meningkatkan daya tarik pembelajaran.
Peran Pengajar Peran pengajar dalam pembelajaran berbasis blended learning sangat penting dalam mengelola pembelajaran. Yang pasti pengajar harus melek informasi. Di samping memiliki keterampilan mengajar dalam menyampaikan isi pembelajaran tatap muka, pengajar juga harus memiliki kpengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan sumber belajar berbasis komputer (Microsoft Word dan Microsoft PowerPoint) dan keterampilan untuk mengakses internet, kemudian dapat menggabungkan dua atau lebih metode pembelajaran tersebut. Seorang pengajar dapat memulai pembelajaran dengan tatap muka terstruktur kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran berbasis komputer offline dan pembelajaran secara online. Kombinasi pembelajaran juga dapat diterapkan pada integrasi e-learning (online), menggunakan komputer di kelas, dan pembelajaran tatap muka di kelas.
Peran Pengajar Peran pengajar dalam pembelajaran berbasis blended learning sangat penting dalam mengelola pembelajaran. Yang pasti pengajar harus melek informasi. Di samping memiliki keterampilan mengajar dalam menyampaikan isi pembelajaran tatap muka, pengajar juga harus memiliki kpengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan sumber belajar berbasis komputer (Microsoft Word dan Microsoft PowerPoint) dan keterampilan untuk mengakses internet, kemudian dapat menggabungkan dua atau lebih metode pembelajaran tersebut. Seorang pengajar dapat memulai pembelajaran dengan tatap muka terstruktur kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran berbasis komputer offline dan pembelajaran secara online. Kombinasi pembelajaran juga dapat diterapkan pada integrasi e-learning (online), menggunakan komputer di kelas, dan pembelajaran tatap muka di kelas.
Bimbingan belajar perlu diberikan kepada pebelajar
sejak awal, agar para pebelajar memiliki keterampilan belajar kombinasi sejak
awal, karena kemampuan ini akan menjadi alat belajar di masa depan. Peran
pengjaar sangat penting karena hal ini memerlukan proses transformasi
pengetahuan isi dan blended learning sebagai alat.
Dengan makin baiknya sistem ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat, maka penduduk dunia akan semakin banyak pula, oleh karena itu perlu
dilakukan pembelajaran yang efisien dalam pemanfaatan sumber daya, pembelajaran
berbasis blended learning merupakan suatu keniscayaan untuk dilaksanakan dalam
sistem pembelajaran, khususnya di Indonesia. Kunci dari semua ini terletak pada
peran pengajar yang mengusai kompetensi untuk mengelola pembelajaran berbasis
blended learning.
Unsur-Unsur Blended Learning Pembelajaran berbasis
blended learning mengkombinasikan antara tatap muka dan e-learning tinggi
paling tidak memiliki 6 (enam) unsur, yaitu: (a) tatap muka (b) belajar
mandiri, (c) aplikasi, (d) tutorial, (e) kerjasama, dan (f) evaluasi.
Pembelajaran Tatap muka Pembelajaran tatap muka dilakukan seperti yang sudah
dilakukan sebelum ditemukannya teknologi cetak, audio visual, dan komputer,
pengajar sebagai sumber belajar utama.
Pengajar menyampaikan isi pembelajaran, melakukan
tanya jawab, diskusi, memberi bimbingan, tugas-tugas kuliah, dan ujian. Semua
dilakukan secara sinkron (synchronous), artinya semua pebelajar belajar isi
pembelajaran pada waktu dan tempat yang sama. Beberapa variasi yang dilakukan,
misalnya dosen membagi perkuliahan ke dalam topik-topik yang harus di bahas
oleh mahasiswa di depan kelas, mehasiswa membuat makalah untuk presentasi
mahasiswa sebagai peserta dan melakukan klarifikasi, tanya-jawab, dan
memecahkan masalah. Dengan menggunakan pendekatan berpusat pada pebelajar,
kuliah dilakukan dengan tutorial, buku kerja, menulis makalah, dan penilaian.
Pembelajaran Mandiri Dalam pembelajaran tatap muka,
untuk mengakomodasi perbedaan individual kemudian berkembang dengan memberikan
tugas belajar mandiri melalui pembelajaran menggunakan modul, sekarang di
sekolah digunakan Lembar Kerja Siswa. Tujuannya tentu agar siswa yang berlainan
karakteristik kecerdasannya akan belajar sesuai dengan kecepatan belajarnya.
Dalam sumber belajar untuk pembelajaran mandiri ini,
kebanyakan pengajar memerlukan buku teks 2 atau atau lebih sebagai sumber
belajar. Dalam pembelajaran berbasis blended learning, akan banyak sumber
belajar yang harus diakses oleh pebelajar, karena sumber-sumber tersebut tidak
hanya terbatas pada sumber belajar yang dimiliki pengajar, perpustakaan lembaga
pendidikannya saja, melainkan sumber-sumber belajar yang ada di perpustakaan
seluruh dunia. Pengajar yang profesional dan kompeten dalam disiplin ilmu tentu
dapat merancang sumber-sumber belajar mana saja yang dapat diakses untuk
mengkombinasikan dengan buku, multi media, dan sumber belajar lain.
Pembelajaran Berbasis Masalah Aplikasi dalam
pembelajaran berbasis blended learning dapat dilakukan melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah Masalah. Melalui pembelajaran berbasis masalah, pebelajar akan
belajar berdasarkan masalah yang harus dipecahkan, kemudian melacak konsep,
prinsip, dan prosedur yang harus diakses untuk memecahkan masalah tersebut. Ini
berbeda dengan pembelajaran konvensional, yang di tahap awal disajikan konsep,
prinsip, dan prosedur yang diakhiri dengan menyajikan masalah.
Asumsinya,
pebelajar dianggap belum memiliki pengetahuan prasyarat untuk memecahkan masalah,
sehingga konsep-konsep tersebut disajikan terlebih dahulu. Melalui pembelajaran
berbasis masalah, pebelajar akan secara aktif mendefinisikan masalah, mencari
berbagai alternatif pemecahan, dan melacak konsep, prinsip, dan prosedur yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut.
Pembelajaran Tutorial Program pembelajaran berbasis
komputer memerlukan kegiatan tutorial tatap muka, namun sifat tutotial berbeda
dengan pembelajaran tatap muka konvensional. Pada tutorial, pebelajar yang
aktif untuk menyampaikan masalah yang dihadapi, seorang pengajar akan berperan
sebagai tutor yang membimbing. Sejumlah program universitas menggunakan
berbagai pembelajaran interaktif komputer. Perusahaan menyediakan pembelajaran
berbasis CD-ROM dan konten online. Meskipun aplikasi teknologi dapat
meningkatkan keterlibatan pebelajar dalam belajar, peran pengajar masih
diperlukan sebagai tutor.
Pembelajaran Kolaborasi Kerjasama atau kolaborasi
merupakan salah satu ciri penting pembelajaran masa depan yang lebih banyak
mengedepankan kemampuan individual, namun kemampuan ini kemudian disinergikan
untuk menghasilkan produk, karena produk masa depan, apalagi produk komputer
baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak yang kompleks, diperlukan
pendekatan interdisipliner. Oleh karena itu produk masa depan adalah produk
yang dihasilkan dari kegiatan kolaborasi. Keterampilan kolaborasi harus menjadi
bagian penting dalam pembelajaran berbasis blended learning.
Hal ini tentu berbeda dengan pembelajaran tatap muka
konvensional yang semua pebelajar belajar di dalam kelas yang sama di bawah
kontrol pengajar, dalam pembelajaran berbasis blended, maka pebelajar bekaerja
secara mandiri dan berkolaborasi. Oleh karena itu, tagihan dalam pembelajaran
ini akan berbeda dengan pembelajaran tatap muka. Evaluasi pembelajaran berbasis
blended learning tentunya akan sangat berbeda dibanding dengan evaluasi
pembelajaran tatap muka. Evaluasi harus didasarkan pada proses dan hasil yang
dapat dilakukan melalui penilaian evaluasi kinerja belajar pebelajar
berdasarkan portofolio. Demikian pula penilaian perlu melibatkan bukan hanya
otoritas pengajar, namun perlu ada penilaian diri oelh pebelajar, maupun
penilai pebelajar lain.
Klasifikasi Blended Learning Untuk memahami Blended Learning beberapa ahli mengklasifikasi berdasarkan
karakteristik. Pada umumnya pembelajaran Blended Learning atau online adalah
"asynchronous", di mana pengajar/ guru/dosen/instruktur dan orang
yang belajar siswa tidak bertemu di saat yang sama.
Ranganathan, Negash, dan Wilcox, 2007) membagi empat
jenis klasifikasi e-Learning, yaitu: 1. e-Learning tanpa kehadiran dan tanpa
komunikasi, 2. e-Learning tanpa kehadiran tetapi dengan komunikasi, 3.
e-Learning dikombinasikan dengan kehadiran sesekali, 4. e-Learning digunakan
sebagai alat dalam mengajar di kelas . Berdasarkan empat klasifikasi tersebut,
kemudian dikembangkan menjadi enam jenis e-learning yang disajikan dalam tabel
berikut.
Tabel 2. Klasifikasi e-learning sebagai konsep dasar Blended Learning.
Klasifikasi Presentasi Komunikasi elektronik Sebutan Pembelajaran Tipe I YA TIDAK Tatap Muka Tipe II TIDAK TIDAK Belajar Mandiri Tipe III TIDAK YA Tidak sinkron Tipe IV YA YA Sinkron Tipe V PILIHAN YA Blended/Hybrid-Tidak Sinkron Tipe VI YA YA Blended/Hybrid-Sinkron
Tabel 2. Klasifikasi e-learning sebagai konsep dasar Blended Learning.
Klasifikasi Presentasi Komunikasi elektronik Sebutan Pembelajaran Tipe I YA TIDAK Tatap Muka Tipe II TIDAK TIDAK Belajar Mandiri Tipe III TIDAK YA Tidak sinkron Tipe IV YA YA Sinkron Tipe V PILIHAN YA Blended/Hybrid-Tidak Sinkron Tipe VI YA YA Blended/Hybrid-Sinkron
Tipe I: Pembelajaran tatap Muka Pembelajaran dilakukan
dengan adanya kehadiran fisik pengajar yang melakukan presentasi materi secara
fisik tetapi tidak melakukan komunikasi elektronik. Ini merupakan tipe kelas
tatap muka di kelas secara tradisional. Pengajar atau instruktur dan orang yang
belajar secara fisik hadir di kelas setiap saat penyajian materi pembelajaran.
Komunikasi antara pebelajar dan pengajar terjadi di kelas secara bersama-sama,
dalam waktu dan tempat yang sama. Pembelajaran ini dimasukkan sebagai
e-learning karena walaupun pembelajaran lebih didominasi oleh kegiatan tatap
muka, namun sudah menggunakan media elektronik sebagai kegiatan penyampaian isi
pembelajaran, misalnya melalui slide PowerPoint, klip video, dan multimedia
untuk memberikan penjelasan dan contoh-contoh isi pembelajaran.
Tipe II: Pembelajaran Mandiri Pembelajaran dilakukan
tanpa presentasi dan kehadiran pengajar dan tanpa komunikasi elektronik,
artinya pebelajar belajar sendiri. Pendekatan ini disebut sebagai belajar
mandiri (self-learning). Pebelajar menerima isi/materi pembelajaran melalui
belajar sendiri. Tidak ada orang yang membantu dalam format belajar mandiri,
juga tidak ada komunikasi elektronik antara pebelajar dan pengajar/instruktur.
Dalam format ini e-Learning pelajar biasanya menerima konten pra-rekaman atau
mengakses arsip rekaman konten. Komunikasi antara pebelajar dan pengajar tidak
dilakukan. Contoh pembelajaran tipe ini, isi disampaikan pada pebelajar
menggunakan media rekaman seperti CD ROM atau DVD.
Tipe III: Pembelajaran Tidak Sinkron Pembelajaran
dilakukan tanpa kehadiran pengajar namun dilakukan degan komunikasi elektronik
yang tidak sinkron (asynchronous). Yang dimaksud dengan tidak sinkron adalah
komunikasi elektronik antara pengajar dan pebelajar tidak dilakuksan pada waktu
dan tempat yang sama. Dalam format ini, pengajar dan pebelajar tidak secara
bersama-sama bertemu dalam suatu ruang yang sama. Namun, pengajar dan pebelajar
melakukan komunikasi yang dapat dilakukan melalui email dan pebelajar tidak perlu
hadir secara fisik di kelas. Contoh jenis ini adalah pembelajaran e-Learning
dengan menggunakan ruang kelas tradisional di mana pengajar dan pebelajar pada
saat yang sama menggunakan email.
Tipe IV: Pembelajaran Sinkron Pembelajaran dilakukan secara maya dan komunikasi elektronik yang sinkron (synchronous). Format ini disebut sinkron, karena pengajar dan pebelajar selalu hadir secara real-time, walau tidak ada kehadiran fisi. Teknologi yang digunakan untuk komunikasi sinkron mencakup semua teknologi yang digunakan dalam e-Learning asynchronous selain dilakukan real-time e-Learning, juga penggunaan instant messaging, chat, live audio, dan video langsung. Contoh tipe ini adalah sebuah kelas virtual dengan video audio, pengajar dan pebelajar bertatap muka melalui video, disertai dengan chatting.
Tipe V: Blended Learning Tidak Sinkron Pembelajaran dilakukan dengan kehadiran pengajar sesekali dan komunikasi elektronik yang dikombinasi atau capuran (Blended/Hybrid-asynchronous). Ini adalah format e-Learning blended atau hybrid dengan kehadiran pengajar sesekali. Dalam format ini komunikasi elektronik digunakan dalam format asinkron dan sinkron. Kehadiran pengajar yang kadang-kadang, di mana beberapa pertemuan dilakukan dengan kehadiran fisik (yaitu tatap kelas-muka) dan pada pertemuan yang dilakukan tanpa kehadiran pengajar (asynchronous). Kehadiran fisik pengajar mirip dengan kelas tatap muka tradisional, di mana baik pengajar maupun pebelajar secara fisik hadir di kelas. Contoh tipe ini, isi pembelajaran disampaikan kadang-kadang melalui pertemuan tatap muka dan melalui teknologi e-Learning yang dilakukan secara tidak sinkron Tipe VI: Pembelajaran Blended Learning Sinkron Pembelajaran dilakukan dengan kehadiran pengajar dan dengan komunikasi elektronik (Blended/Hybrid-sinkron). Dalam format ini komunikasi elektronik dikemas dalam format asinkron dan sinkron. Kehadiran pengajar dapat dilakukan bergantian antara fisik dan virtual. Beberapa pertemuan kelas dilakukan dengan kehadiran fisik (dalam ruang kelas tradisional yaitu tatap muka langsung) dan pertemuan lainnya dilakukan secara maya (sinkron). Dalam format ini pebelajar dan pengajar selalu bertemu di saat yang sama, kadang-kadang secara fisik dan waktu lainnya melalui tatap muka maya. Contoh tipe ini adalah tempat pengajar dan pebelajar menggunakan kelas untuk beberapa waktu dan menggunakan live audio/video untuk pertemuan maya. Pertemuan pada yang lain di kombinas tatap muka dan tidak tatap muka. Dalam Blended/ hibrida Learning, kehadiran fisik dan virtual dapat dikombinasi (dicampur) dengan format tidak sinkron dan sinkron. Jumlah waktu tatap muka dapat sangat bervariasi dari program pembelajaran yang satu ke program lainnya. Beberapa kali melakukan pertemuan kelas tatap muka pertama dan terakhir dalam satu semester. Pembelajaran Blended dapat dilakukan dengan dua puluh lima persen melalui kehadiran pengajar dan tujuh puluh lima persen tanpa kehadiran. Ada juga yang melakukan pembelajaran dengan lima puluh persen tatap muka dan lima puluh persen melalui e-learning. Demikian pula, ada yang melakukan seratus persen kehadiran tatap muka dengan kombinasi kehadiran fisik dan maya. Meskipun tidak ada standar proporsi kehadiran tatap muka dan letidakkehadiran secara fisik, namun yang pasti dalam pembelajaran berbasis blended learning selalui mengkombinasi kegiatan tatap muka dan e-learning sebagai upaya untuk memfasilitasi terjadinya belajar (Ranganathan, Negash, dan Wilcox, 2007).
Penutup Indonesia merupakan bangsa yang besar, baik dari aspek luas wilayah, sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Namun demikian, kondisi bangsa sekarang ini belum menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang besar perhitungan Human Development Indeks (HDI) dikeluarkan UNDP. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Berdasarkan laporan IPM yang dirilis United Nation Development Program (UNDP), pada tahun 2010 IPM Indonesia berada pada urutan 108 dari 166 negara dan masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN seperti Singapura (urutan 27), Brunai Darussalam (urutan 37), Malaysia (urutan 57), Thailand (urutan 92), Philipina (urutan 97). Yang dibawah peringkat Indonesia hanya negara Vietnam (urutan 113), Timor Leste (urutan 120), Kamboja (urutan 124), dan Myanmar (urutan 132). Rendahnya IPM Indonesia tersebut, menggambarkan rendahnya daya saing bangsa Indonesia untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Sudah keharusan bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia dengan cara meningkatkan IPM melalui pembangunan bidang pendidikan, khususnya pdeningkatan kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang berkualitas akan menghasilkan lulusan yang berkualitas yang diharapkan mampu menjawab perkembangan zaman dan arus globalisasi. Agar para pengajar di Indonesia sensitif terhadap perkembangan pengetahuan tentang pembelajaran masa depan, diperlukan serangkaian kegiatan secara inklusif maupun eksklusif, massal maupun terbatas oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas pengajar. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui seminar, pelatihan, dan lokakarya dengan baik secara sentralisasi maupun desentralisasi untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dalam pembelajaran, meliputi teknologi cetak, teknologi audio, teknologi audio visual, teknologi komputer, dan teknologi telepon seluler. Pembelajaran yang memanfaatkan semuanya itu apabila dikemas menjadi satu kesatuan dengan kombinasi yang berprinsip sinergi, maka pembelajaran tersebut menjadi berkualitas karena mampu memfasilitasi sumber belajar yang beragam. Semoga kebangkitan pembelajaran yang sensitif terhadap perkembangan teknologi segera terwujud.
Tipe IV: Pembelajaran Sinkron Pembelajaran dilakukan secara maya dan komunikasi elektronik yang sinkron (synchronous). Format ini disebut sinkron, karena pengajar dan pebelajar selalu hadir secara real-time, walau tidak ada kehadiran fisi. Teknologi yang digunakan untuk komunikasi sinkron mencakup semua teknologi yang digunakan dalam e-Learning asynchronous selain dilakukan real-time e-Learning, juga penggunaan instant messaging, chat, live audio, dan video langsung. Contoh tipe ini adalah sebuah kelas virtual dengan video audio, pengajar dan pebelajar bertatap muka melalui video, disertai dengan chatting.
Tipe V: Blended Learning Tidak Sinkron Pembelajaran dilakukan dengan kehadiran pengajar sesekali dan komunikasi elektronik yang dikombinasi atau capuran (Blended/Hybrid-asynchronous). Ini adalah format e-Learning blended atau hybrid dengan kehadiran pengajar sesekali. Dalam format ini komunikasi elektronik digunakan dalam format asinkron dan sinkron. Kehadiran pengajar yang kadang-kadang, di mana beberapa pertemuan dilakukan dengan kehadiran fisik (yaitu tatap kelas-muka) dan pada pertemuan yang dilakukan tanpa kehadiran pengajar (asynchronous). Kehadiran fisik pengajar mirip dengan kelas tatap muka tradisional, di mana baik pengajar maupun pebelajar secara fisik hadir di kelas. Contoh tipe ini, isi pembelajaran disampaikan kadang-kadang melalui pertemuan tatap muka dan melalui teknologi e-Learning yang dilakukan secara tidak sinkron Tipe VI: Pembelajaran Blended Learning Sinkron Pembelajaran dilakukan dengan kehadiran pengajar dan dengan komunikasi elektronik (Blended/Hybrid-sinkron). Dalam format ini komunikasi elektronik dikemas dalam format asinkron dan sinkron. Kehadiran pengajar dapat dilakukan bergantian antara fisik dan virtual. Beberapa pertemuan kelas dilakukan dengan kehadiran fisik (dalam ruang kelas tradisional yaitu tatap muka langsung) dan pertemuan lainnya dilakukan secara maya (sinkron). Dalam format ini pebelajar dan pengajar selalu bertemu di saat yang sama, kadang-kadang secara fisik dan waktu lainnya melalui tatap muka maya. Contoh tipe ini adalah tempat pengajar dan pebelajar menggunakan kelas untuk beberapa waktu dan menggunakan live audio/video untuk pertemuan maya. Pertemuan pada yang lain di kombinas tatap muka dan tidak tatap muka. Dalam Blended/ hibrida Learning, kehadiran fisik dan virtual dapat dikombinasi (dicampur) dengan format tidak sinkron dan sinkron. Jumlah waktu tatap muka dapat sangat bervariasi dari program pembelajaran yang satu ke program lainnya. Beberapa kali melakukan pertemuan kelas tatap muka pertama dan terakhir dalam satu semester. Pembelajaran Blended dapat dilakukan dengan dua puluh lima persen melalui kehadiran pengajar dan tujuh puluh lima persen tanpa kehadiran. Ada juga yang melakukan pembelajaran dengan lima puluh persen tatap muka dan lima puluh persen melalui e-learning. Demikian pula, ada yang melakukan seratus persen kehadiran tatap muka dengan kombinasi kehadiran fisik dan maya. Meskipun tidak ada standar proporsi kehadiran tatap muka dan letidakkehadiran secara fisik, namun yang pasti dalam pembelajaran berbasis blended learning selalui mengkombinasi kegiatan tatap muka dan e-learning sebagai upaya untuk memfasilitasi terjadinya belajar (Ranganathan, Negash, dan Wilcox, 2007).
Penutup Indonesia merupakan bangsa yang besar, baik dari aspek luas wilayah, sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Namun demikian, kondisi bangsa sekarang ini belum menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang besar perhitungan Human Development Indeks (HDI) dikeluarkan UNDP. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Berdasarkan laporan IPM yang dirilis United Nation Development Program (UNDP), pada tahun 2010 IPM Indonesia berada pada urutan 108 dari 166 negara dan masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN seperti Singapura (urutan 27), Brunai Darussalam (urutan 37), Malaysia (urutan 57), Thailand (urutan 92), Philipina (urutan 97). Yang dibawah peringkat Indonesia hanya negara Vietnam (urutan 113), Timor Leste (urutan 120), Kamboja (urutan 124), dan Myanmar (urutan 132). Rendahnya IPM Indonesia tersebut, menggambarkan rendahnya daya saing bangsa Indonesia untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Sudah keharusan bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia dengan cara meningkatkan IPM melalui pembangunan bidang pendidikan, khususnya pdeningkatan kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang berkualitas akan menghasilkan lulusan yang berkualitas yang diharapkan mampu menjawab perkembangan zaman dan arus globalisasi. Agar para pengajar di Indonesia sensitif terhadap perkembangan pengetahuan tentang pembelajaran masa depan, diperlukan serangkaian kegiatan secara inklusif maupun eksklusif, massal maupun terbatas oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas pengajar. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui seminar, pelatihan, dan lokakarya dengan baik secara sentralisasi maupun desentralisasi untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dalam pembelajaran, meliputi teknologi cetak, teknologi audio, teknologi audio visual, teknologi komputer, dan teknologi telepon seluler. Pembelajaran yang memanfaatkan semuanya itu apabila dikemas menjadi satu kesatuan dengan kombinasi yang berprinsip sinergi, maka pembelajaran tersebut menjadi berkualitas karena mampu memfasilitasi sumber belajar yang beragam. Semoga kebangkitan pembelajaran yang sensitif terhadap perkembangan teknologi segera terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar